BADUNG, BALINEWS.ID – Permasalahan transportasi pariwisata di Bali semakin mendesak untuk segera diselesaikan. Kemacetan yang kian parah, tarif jasa transportasi yang rendah tanpa penyesuaian, serta maraknya pengemudi transportasi online non-KTP Bali yang tidak memahami kultur lokal menjadi sorotan utama. Ironisnya, masih banyak kendaraan yang beroperasi untuk kepentingan bisnis di Bali tetapi menggunakan pelat nomor luar daerah, bukan DK.
Menjawab kegelisahan tersebut, Forum Perjuangan Driver Pariwisata Bali yang terdiri dari 115 paguyuban menggelar diskusi bertajuk “Permasalahan Transportasi Pariwisata sebagai Sektor Penting dalam Pariwisata Bali” pada Rabu (21/5), di Krisna Wisata Kuliner, Jalan Raya Tuban, Badung.
Ketua Forum, Made Darmayasa, menjelaskan bahwa forum ini dibentuk sejak Desember 2024 untuk menyatukan para sopir freelance seluruh Bali yang memiliki kesamaan nasib di lapangan. Ia juga menekankan bahwa seorang pengemudi pariwisata seharusnya memahami nilai-nilai budaya Bali.
“Tata kelola transportasi saat ini sangat semrawut. Maka dari itu, kami mengusulkan enam tuntutan yang sebelumnya telah disampaikan ke DPRD, DPR, hingga ke Gubernur Bali. Salah satunya adalah penyelesaian peraturan daerah (Perda) yang dijanjikan rampung pada Agustus,” ujar Darmayasa.
Menurut Darmayasa, diskusi ini bertujuan untuk mendorong perubahan terhadap tata kelola transportasi, baik online maupun transportasi pariwisata konvensional, sejalan dengan enam poin tuntutan yang selama ini diperjuangkan. Harapannya, hasil diskusi ini dapat diajukan dalam rancangan peraturan daerah (Ranperda) Bali ke depan.
Akademisi sekaligus perwakilan Majelis Desa Adat Kota Denpasar, A.A. Ketut Sudiana, menyoroti angka perpindahan penduduk di Bali yang diperkirakan akan terus meningkat. Kondisi ini akan memicu beragam masalah seperti kemacetan, persaingan usaha yang tidak sehat, hingga keterbatasan ruang. Ia juga menyoroti tren baru wisatawan asing yang datang ke Bali bukan sekadar untuk berlibur, melainkan untuk bekerja dan berbisnis.
“Ada yang namanya empat megatrend global. Salah satunya adalah fenomena ‘End of Ambition’ yakni turis yang tidak lagi datang untuk berlibur, tapi untuk berbisnis. Mungkin kalian pernah melihat turis yang menjadi driver, nah itu salah satu contohnya,” terang Sudiana.
Dosen Fakultas Hukum Unmas Denpasar itu juga menjelaskan bahwa dari tiga sektor utama perekonomian Bali yakni industri, pertanian, dan pariwisata, namun sektor pariwisata yang menjadi penyumbang pendapatan daerah terbesar.
“Kita sebagai masyarakat yang berusaha menjaga Bali beserta budayanya, tetapi devisa tidak pernah dikembalikan. Dengan demikian, saya mengusulkan yang namanya otonomi desentralisasi asimetris. Artinya kebijakan pemerintah di Bali boleh sama dengan daerah lain, tetapi ada kekhususan. Maka dari itu, kita bisa memiliki Undang-Undang Provinsi Bali dan membuat Perda Pungutan Wisatawan Asing,” tambahnya.
Kritik tajam juga disampaikan oleh tokoh pariwisata, Wayan Winasa. Ia menggambarkan kondisi transportasi di Bali yang semakin kacau. Belum lagi wisatawan yang datang saat ini lebih mencari segala hal yang murah dan tak sedikit di antaranya terlibat dalam tindak kriminal.
“Turis sekarang datang cuma dua-tiga hari. Mereka bilang ‘Bali is very cheap’. Itu bukan salah mereka, tapi kita yang tidak bisa menetapkan harga internasional. Harga murah bikin layanan ikut murahan dan rentan kriminalitas,” tegasnya.
Ia pun menyerukan pentingnya penyesuaian tarif agar seimbang dengan kualitas layanan. “Put your price, put your quality,” pungkasnya.
Sementara itu, Prof. I Nengah Dasi Astawa turut menyoroti lemahnya penegakan regulasi yang sudah ada. Menurutnya, aparat penegak hukum seharusnya mampu menjalankan aturan yang berlaku secara konsisten dan tanpa kompromi.
“Sekarang banyak villa bodong, siapa yang menertibkan? Aturan di Bali itu sudah lengkap, sekarang bagaimana pelaksanannya dan penegakannya oleh pemerintah dan aparat berwenang,” tegasnya.
Ia juga mengangkat isu tentang jumlah kendaraan di Bali yang jauh melebihi jumlah wisatawan. Ia menilai pembatasan transportasi online perlu diterapkan berdasarkan kapasitas daya dukung wilayah atau carrying capacity.
“Jumlah kendaraan di Bali sekarang melebihi jumlah wisatawan. Bayangkan jika mobilnya ada 400 tapi tamunya cuma 200, itu pemicu macetnya,” ujarnya.
Prof. Dasi pun mengingatkan agar Forum Perjuangan Driver Pariwisata Bali juga memperjuangkan legalitas dan memegang ijin agar lebih terorganisir dan memiliki payung hukum yang jelas.
“Sama halnya dengan guide, driver juga harus punya izin. Jika tidak, kalian dianggap organisasi bodong,” tegasnya.
Diskusi ini menjadi langkah penting dalam perjuangan para driver lokal untuk mendapatkan pengakuan, perlindungan hukum, serta penataan sistem transportasi pariwisata Bali yang lebih adil dan berbudaya. Bali bukan sekadar destinasi wisata, melainkan rumah yang harus dijaga bersama oleh siapa pun yang mencari nafkah di atasnya. (*)