KLUNGKUNG, BALINEWS.ID – Suara ombak kini terdengar lebih nyaring di pesisir Desa Kusamba. Namun bukan sekadar suara laut biasa. Gelombang besar yang terus menerjang selama hampir tiga bulan terakhir perlahan mengikis harapan para petani dan warga yang menggantungkan hidupnya dari tanah pesisir.
“Kalau tidak salah, sudah sekitar tiga bulanan begini. Ombaknya besar, air laut masuk sampai ke rumah dan lahan pertanian,” ungkap Ketut Sukarta, seorang petani setempat, dengan raut cemas. Ia sehari-hari menggarap lahan pertanian di Kusamba, namun kini harus berhadapan dengan kenyataan pahit: air laut yang mencemari sawah membuat banyak tanaman mati dan hasil panen menurun drastis.
Bahkan, harga gabah yang dulu sempat dihargai hingga Rp350 ribu per are, kini hanya ditawar sekitar Rp58 ribu. “Banyak batang padi yang gosong karena air laut. Kami rugi besar, dan tidak tahu harus bagaimana,” imbuh Sukarta lirih.
Fenomena abrasi ini tak hanya terjadi di Kusamba. Di Pantai Tegal Besar, Desa Negari, Kecamatan Banjarangkan, garis pantai kian terkikis. Aliran Sungai Tukad Bubuh yang berbelok ke arah barat ikut memperparah situasi. Warga pun waswas, sebab wilayah ini tak hanya penting untuk pertanian, tapi juga menjadi lokasi penting untuk ritual keagamaan seperti melasti.
Menyadari kondisi ini, Bupati Klungkung, I Made Satria, bergerak cepat. Ia menugaskan Dinas PUPRPKP Klungkung untuk segera membuat sodetan pada hilir Sungai Tukad Bubuh agar aliran air bisa langsung menuju laut di kawasan Pantai Tegal Besar.
“Saya juga meminta agar koordinasi dengan Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali-Penida diperkuat. Ini persoalan mendesak, harus ditangani segera agar tidak semakin meluas dampaknya,” tegas Bupati Satria.
Langkah-langkah awal telah disiapkan, namun tantangan ke depan masih besar. Masyarakat pesisir berharap, selain penanganan teknis, kehadiran nyata pemerintah dapat memberikan rasa aman dan semangat untuk kembali bangkit.