BALINEWS.ID – Bali Harus Jadi Tuan di Rumahnya Sendiri. Ini bukan sekadar soal setuju atau tidak setuju ini bukan hanya perdebatan pro dan kontra. Ini adalah panggilan hati yang lahir dari cinta, tentang “masa depan Bali”, masa depan adat dan budaya yang kita agungkan dan jaga dengan doa-doa panjang dari generasi ke generasi.
Hari ini, saya bertanya pada diri saya sendiri dan mungkin juga pada kita semua bagaimana nasib anak-anak muda Bali di tanahnya sendiri?
Di satu sisi, anak-anak muda kita menyeberang samudra, menjadi pekerja migran, mengais rezeki di negeri orang. Di sisi lain, pulau ini justru menjadi surga bagi mereka yang datang dari jauh orang asing yang memilih menetap, menua, bahkan wafat di Bali. Mereka tinggal, bekerja, berbisnis kadang melanggar aturan, kadang terang-terangan menutup mata pada hukum.
Dan kita? Anak-anak muda Bali, para pewaris tanah leluhur, kadang hanya jadi pelayan di rumah sendiri. Kita jadi gardener, front office, room service semua pekerjaan mulia, tak ada yang rendah, tapi lihat di mana posisi kita: hanya pelengkap bagi kantong-kantong tebal para pemilik modal, yang seringkali asing, seringkali rakus, seringkali hanya peduli untung.
Upah Rendah, Adat Tinggi
Ironi ini semakin menyesak jika kita bicara angka. Bali, penyumbang devisa pariwisata terbesar negeri ini bahkan kabarnya 80% sumbangan pariwisata Indonesia datang dari Bali. Tapi lihat UMR kita, bandingkan dengan Jakarta atau kota besar lain. Di Jakarta, upah bisa menyentuh angka 6 juta rupiah di Bali? Paling tinggi 3 jutaan.
Sementara kita di Bali hidup dengan biaya tinggi. Kita bersaing dengan orang-orang asing yang datang dengan mata uang kuat. Mereka belanja di pasar tradisional, membeli gas LPG bersubsidi, memborong tanah, membangun vila dan harga-harga pun melambung.
Mereka sanggup. Kita tercekik.
Dan lebih parah lagi, di Bali, bekerja bukan hanya soal cari makan. Kita punya adat. Kita ngayah. Kita menanggung tanggung jawab sosial yang tak pernah ringan. Anak muda Bali bekerja bukan hanya untuk perut sendiri, tapi juga untuk desa adat, banjar, pura, dan tetua.
Ironi Wisatawan Pensiun
Saya sering bilang: kita ingin wisatawan datang ke Bali untuk berlibur, membelanjakan uangnya, menghidupi ekonomi lokal. Tapi kenyataan berkata lain: makin banyak yang datang untuk menetap, bekerja diam-diam, dan menikmati Bali dengan ongkos sosial yang ditanggung anak-anak muda Bali.
Lihat vila-vila di pinggiran sawah, yang kadang kepemilikannya pun remang-remang. Homestay berlabel lokal, tapi di baliknya dikuasai modal asing. Lalu mereka menyewakan ke turis asing juga lalu belanja di pasar tradisional dengan rupiah yang seolah tak ada artinya bagi nilai tukar mereka.
Hasilnya? Prinsip ekonomi sederhana: permintaan naik, harga naik. Ujungnya, yang menderita ya rakyat Bali sendiri yang lahannya semakin sempit, ruangnya makin sempit, nafasnya makin sempit.
Pergi Jadi Buruh di Negeri Orang
Maka tak heran kalau makin banyak anak muda Bali memilih pergi. Jadi pekerja migran di kapal pesiar, restoran di Australia, kebun di Korea. Bekerja keras di negeri orang, di tanah asing, demi gaji yang layak. Demi bisa kirim uang ke rumah, demi bisa bangun rumah di desa, demi bisa ngayah saat hari baik tiba.
Tapi, hati ini tetap bertanya: sampai kapan anak Bali harus jadi tamu di rumah orang, dan jadi babu di rumah sendiri?
Pemerintah, Dimana Kau?
Pertanyaannya bukan mau modernisasi atau tidak. Kita tak menolak kemajuan. Kita tak alergi investor. Kita tak menutup pintu untuk orang-orang baik dari luar. Tapi harus ada aturan, harus ada keberpihakan.
Pemerintah tidak bisa hanya sibuk berkoar: “Mari jaga budaya Bali”. Sementara tanah Bali dijual sedikit-sedikit. Sementara adat Bali jadi slogan di brosur pariwisata, tapi di lapangan, orang Bali terseok mencari lahan upacara.
Siapa yang mengawasi para pekerja asing ilegal? Siapa yang menertibkan vila-vila bodong? Siapa yang memastikan gas LPG subsidi benar-benar sampai ke warga Bali, bukan ke vila-vila mewah yang tamunya memasak lobster di dapur mewah?
Menjadi Tuan di Rumah Sendiri
Pesan saya sederhana: orang Bali harus jadi tuan di rumahnya sendiri. Kita butuh kebijakan yang membuat anak muda betah tinggal di Bali. Upah layak. Lapangan kerja layak. Ruang berkarya luas. Pemberdayaan adat bukan hanya jadi jargon kampanye.
Jangan biarkan Bali hanya jadi etalase indah di brosur wisata, tapi di baliknya, anak mudanya merantau jadi buruh di negeri orang. Jangan biarkan Bali hanya jadi taman bermain bagi orang kaya, sementara orang Balinya hanya jadi tukang sapu di beranda rumah sendiri.
Kalau bukan kita yang menjaga, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Oleh: Kande Putra Topi Merah – (Pemerhati Sosial Budaya Bali)