GIANYAR, BALINEWS.ID – Ogoh-ogoh Tulak Tunggul yang selama pembuatannya menjadi magnet penonton, telah diarak keliling Desa Tampaksiring, saat Pengerupukan pada Jumat lalu (28/3/2025). Saat diarak oleh pemuda dari ST Sentana Luhur, Banjar Kelodan, Tampaksiring, penampilannya sukses memukau penonton.
Alunan gamelan mengiringi perjalanan ogoh-ogoh tersebut. Selama diarak, pemuda setempat juga menembakkan bom asap flaire, sehingga menambahkan kesan dramatis.
“Terima kasih kepada ida dane sampun (masyarakat sudah, red) memberikan apresiasi,” ujar konseptor ogoh-ogoh Tulak Tunggul, Mang Egik.
Dikatakan bahwa lahirnya Tulak Tunggul ini untuk menyampaikan kritik sosial. Anatomi tidak selalu terpatok secara realistis. “Contoh kaki bengkok. Kami tegaskan, anatomi asli manusia bengkok, tapi tidak kelihatan bengkok,” ujarnya.
Pihaknya juga ingin menyampaikan kesulitan dalam bentuk gerak. “Bisa dilihat di selah gigi,” ujarnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa sebuah karya yang dibuat sungguh-sungguh akan mengungkapkan taksunya sendiri.

Sementara itu, dalam deskripsi pembuatannya, Tulak Tunggul menjadi simbol keteguhan, perlindungan, dan persatuan yang memiliki makna mendalam di kehidupan ini, la digambarkan sebagai pohon magis dengan kekuatan spiritual, pohon beringin yang menjaga identitas wilayah, serta menjadi cermin pemikiran dengan esensi persatuan dan keberagaman. Karakter magis Tulak Tunggul merepresentasikan entitas hidup yang menjadi penghubung manusia dengan kebijaksanaan alam.
Rwa Bhineda: Baik dan buruk, siang dan malam, matahari dan bulan. Subha-Asubha Karma; benar-salah, menjadi perlambang pohon beringin yang diselimuti Kain Poleng hitam-putih berbentuk kotak-kotak sebagai esensi dualitas kehidupan yaitu arti dari kata “Tulak” yang sekaligus merepresentasikan budaya yang menjadi pegangan teguh di bumi tercinta Akica Bali.
Upeksha: biarkan dirimu berada di tengah yang berat, menemukan ketenangan dan keseimbangan. Digambarkan dengan posisi duduk yang jugs menjadi arri kekokohan pohon yang bertahan bertahun lamanya, dengan Ketu atau mahkota sebagai lambang keagungan.
Menuju ke Akatayang menjadi metafora bagi persatuan pemikiran yang bercabang, dari berbagai sudut pandang yang tumbuh dalam satu batang kehidupan, hal ini memiliki makna yang mendalam dibalik upava kami sebagai generasi muda “Seka Teruna Teruni Sentana Luhur” yang ingin berkarya atas nama budaya. Berbagai perbedaan pendapat, karakter, sudut pandang yang kami miliki ingin kami satukan dalam arti kata “Tunggul” yaitu akar sebuah pohon.
Bali me-Nyepi. Hanya satu hari dalam satu tahun, Bali berani berhenti sejenak dengan tujuan netralisasi diri dari sifat Bhuta Kala dan energi negatif agar kehidupan kembali suci dan harmonis.
Pada akhirnya, Tulak Tunggul mengajarkan bahwa kekuatan sejati berasal dari Akar yang dalam, dan Kain Poleng yang berarti keseimbangan dalam perbedaan. Ia bukan sekadar pohon, tetapi simbol perjalanan manusia dalam menjaga identitas, tradisi, menyatukan pemikiran, dan tetap bertahan di tengah derasnya arus zaman. (bip)