DENPASAR, BALINEWS.ID – Di balik pesatnya perkembangan pariwisata Bali, Gubernur Wayan Koster tak menutup mata terhadap berbagai persoalan yang kini muncul. Mulai dari alih fungsi lahan pertanian menjadi akomodasi wisata, peningkatan volume sampah dan tekanan pada ekosistem lingkungan, ancaman krisis air bersih, kemacetan parah, dominasi pelaku usaha asing yang mengurangi peluang lokal, ketimpangan pembangunan antarwilayah, tingginya migrasi penduduk, minimnya infrastruktur transportasi publik, dampak budaya asing, hingga menjamurnya usaha ilegal seperti penyewaan motor dan toko roti oleh WNA.
Pernyataan tersebut disampaikan Gubernur Koster saat menerima kunjungan kerja spesifik Komisi VII DPR RI di Jayasabha, Denpasar, Rabu (2/7). Kunjungan yang dipimpin Dr. Evita Nursanty Iqbal itu bertujuan menyerap aspirasi daerah untuk pembahasan sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU), termasuk RUU Kepariwisataan yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Evita menyampaikan apresiasi terhadap konsep kepariwisataan Bali yang dinilai luar biasa, namun mengakui adanya tantangan serius. “Melalui kunjungan ini, kami ingin mendengar langsung kondisi riil pariwisata Bali, termasuk isu-isu aktual seperti premanisme, over tourism, dan izin usaha vila,” ujarnya.
Gubernur Koster menanggapi dengan menyampaikan sejumlah data dan pandangan strategis. Ia menekankan bahwa Bali memiliki kepentingan besar terhadap keberadaan RUU Kepariwisataan karena sektor ini menjadi tulang punggung perekonomian daerah.
“Dari 126 juta wisatawan di ASEAN, 13 juta mengunjungi Indonesia dan 6,33 juta di antaranya datang ke Bali. Dari total devisa pariwisata nasional sebesar Rp 243 triliun, Rp 107 triliun atau sekitar 44 persen disumbangkan dari Bali. Bahkan, kontribusi sektor pariwisata terhadap PDRB Bali mencapai 66 persen,” jelasnya.
Melihat kontribusi besar tersebut, Koster mengusulkan agar RUU Kepariwisataan memberikan perhatian khusus bagi daerah destinasi wisata utama. “Saya memberikan masukan agar ada norma dalam RUU itu yang mengatur daerah-daerah yang menjadi tujuan wisata dunia agar diberikan insentif berupa pembangunan infrastruktur, sarana prasarana strategis, dan kebutuhan lainnya yang sesuai dengan potensi, karakteristik, dan kepentingan daerahnya,” paparnya.
Namun Gubernur Koster menekankan bahwa persoalan yang dihadapi Bali saat ini tidak bisa langsung dikategorikan sebagai over tourism.
“Masalah ini nyata, tapi tidak bisa langsung disimpulkan sebagai over tourism. Luas Bali jauh lebih besar dari Singapura. Yang terjadi adalah perilaku wisatawan yang tidak tertib. Dari 6,4 juta wisatawan, mungkin tidak ada sampai seribu yang bermasalah, tapi dampaknya besar bagi citra Bali,” tegasnya.
Terkait langkah penanganan dan rencana strategis, Gubernur Koster menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan berbagai penertiban, termasuk deportasi terhadap ratusan wisatawan pelanggar aturan. Namun penertiban dilakukan secara terukur agar tidak menimbulkan kontraproduktif dalam pemulihan pariwisata. (*)