INTERMESO, BALINEWS.ID – Setiap Hari Sabtu Kliwon Wuku Landep, umat Hindu di Bali merayakan Hari suci Tumpek Landep. Hari raya yang datang setiap 210 hari sekali, dirayakan penuh suka cita.
Sepeda motor, mobil, traktor, hingga komputer dihias dengan janur, bunga, dan banten. Di media sosial, euforia perayaan ini kerap ditampilkan, bahkan tak jarang memicu pro-kontra.
Namun, di balik kemeriahan itu, kita patut bertanya: apakah Tumpek Landep hanya sebatas menghias besi, atau ada makna lebih tajam yang seharusnya mengasah pikiran, hati, dan bhakti kita?
Luh Irma Susanthi, seorang Koordinator Penyuluh Agama Hindu Kecamatan Kubutambahan mengatakan dalam Lontar Sundarigama, Tumpek Landep disebut sebagai hari pemujaan kepada Bhatara Siwa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Pasupati.
“Sesajen berupa tumpeng, ayam sebulu-bulu, ikan asin, terasi merah, hingga sesayut kusuma yudha, sesungguhnya bukan sekadar persembahan lahiriah.” Jelasnya.
Makna terdalamnya ialah menajamkan pikiran (landeping idep) agar manusia mampu mengendalikan diri, melahirkan perkataan dan perbuatan sesuai dharma. Besi hanyalah simbol, sementara senjata sejati ada dalam pikiran dan hati.
Pada masa Bali kuno, Tumpek Landep dimaknai sebagai hari penyucian keris, tombak, dan pedang para ksatria. Namun yang dipuja bukanlah besinya, melainkan kekuatan dharma yang terkandung di baliknya.
Hari ini, senjata kita bukan lagi keris atau tombak, melainkan handphone, laptop, dan jaringan internet. Dengan satu klik, kita bisa menyebarkan kebaikan atau kebencian. Dengan satu postingan, kita bisa menginspirasi atau melukai.
Pertanyaannya: apakah kita sudah menajamkan “keris digital” itu untuk dharma, atau justru membiarkannya menusuk diri sendiri dan orang lain?
Tri Ṛṇa dan Hutang kepada Alam
Setiap manusia lahir dengan tiga hutang suci (Tri Ṛṇa): kepada Tuhan (Dewa Ṛṇa), kepada guru (Ṛṣi Ṛṇa), dan kepada leluhur (Pitṛ Ṛṇa).
Hari ini, ketika banjir melanda sawah, sungai tersumbat plastik, dan hutan gundul memicu kekeringan, kita harus bertanya: sudahkah hutang itu kita bayar?
- Dewa Ṛṇa: menjaga alam adalah bhakti pada Tuhan.
- Rsi Rna: menghormati ilmu berarti bijak menggunakan teknologi, bukan sekadar membangun beton tanpa memperhatikan drainase.
- Pitra Rna: leluhur mewariskan Bali hijau, apakah kita tega meninggalkan Bali penuh sampah dan udara beracun bagi anak cucu?
Bencana alam adalah cara bumi ibu kita menagih hutang yang kita abaikan.
Pandawa sebagai Senjata Batin
Dalam Mahābhārata, Panca Pandawa bukan hanya ksatria dharma, tetapi simbol kekuatan batin manusia:
* Yudhiṣṭhira: kebenaran,
* Bhīma: keberanian melawan ketidakadilan,
* Arjuna: konsentrasi mencari solusi,
* Nakula: menjaga keindahan alam,
* Sahadeva: kebijaksanaan membaca zaman.
Jika Pandawa adalah senjata batin, maka Tumpek Landep seharusnya menjadi momentum untuk mengasah senjata itu dalam diri kita.
Ketajaman Besi, Pikiran, Hati, dan Bhakti
- Ketajaman Besi: kendaraan dirawat baik, tetapi akan sia-sia bila jalan tertutup sampah.
- Ketajaman Pikiran: melahirkan solusi ekologis seperti bank sampah atau energi alternatif.
- Ketajaman Hati: melahirkan empati, tidak menyalahkan alam, tetapi introspeksi diri.
- Ketajaman Bhakti: bukan hanya sembahyang di pura, tetapi menanam pohon, mengurangi plastik, dan menjaga sungai tetap bersih.
Green Dharma: Bhakti Ekologis Umat
Tumpek Landep harus diwujudkan dalam gerakan Green Dharma:
- Mengurangi sampah plastik sekali pakai
- Menanam pohon setelah upacara,
- Mengadakan aksi bersih desa sebagai yadnya,
- Mengajarkan anak-anak bahwa banten terbaik untuk Tuhan adalah bumi yang lestari.
Kitab suci mengingatkan:
“Bumi adalah ibuku, aku adalah anak bumi” (Atharvaveda XII.1.12).
Jika bumi adalah ibu, maka bencana adalah jeritannya. Apakah kita tega membiarkan ibu kita terus menjerit?
Bhagavad Gītā II.47 pun menegaskan, jangan berhenti berbuat baik hanya karena hasilnya belum tampak. Satu pohon yang kita tanam mungkin kecil artinya, tetapi seribu pohon akan menyelamatkan bumi.
Pesan Spiritual Tumpek Landep
Ketajaman besi hanya sesaat, ketajaman pikiran menyelamatkan bumi sepanjang masa. Perayaan Hari Tumpek Landep bukan hanya menghias kendaraan, tetapi mengasah hati agar tajam membela kehidupan.
Spirit Tumpek Landep di tengah bencana adalah panggilan untuk menajamkan pikiran, hati, dan bhakti. Dari besi kita belajar kekuatan, dari hati kita belajar welas asih, dari bhakti kita belajar keseimbangan.
Mari jadikan Tumpek Landep bukan sekadar ritual, tetapi gerakan spiritual dan ekologis demi bumi yang lestari. (*)